Sunday 17 October 2010

Korupsi dan Lemahnya Good Governance


Saiful Ramang
Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik yang ilegal maupun yang “dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman akan terjadinya lost generation bagi Indonesia. Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat seperti persistensi tingkat kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi buruk, rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standard keselamatan moda transportasi serta ketimpangan antar kalangan masyarakat yang semakin nyata dipertontonkan.
Kualitas tata kelola pemerintahan dan birokrasi yang rendah mengakibatkan Indonesia banyak mengalami lost of opportunities . Kasus di mana banyak investor yang hengkang akibat ketidakjelasan peraturan dan perundang-undangan adalah salah satu bukti nyata masih lemahnya kualitas birokrasi dan minimnya kehadiran tata kelola yang baik. Survei Governance Matters V: Governance Indicator 1996-2005 yang dilakukan oleh para peneliti Bank Dunia (2005) menunjukkan bahwa Indonesia masih menempati posisi yang buruk dari enam dimensi tata kelola yakni kebebasan berpendapat dan akuntabilitas, instabilitas politik dan kerusuhan, efektivitas pemerintahan, tanggung jawab pengawasan, dan kaidah hukum. Terkait dengan dimensi kontrol terhadap tindak korupsi, korupsi dan lemahnya tata kelola birokrasi bagaikan dua sisi mata uang. Maraknya korupsi merupakan cerminan buruknya tata kelola birokrasi Dalam terminologi yang luas, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Definisi ini meliputi penyalahgunaan-penyalahgunaan unilateral oleh pejabat pemerintah seperti nepotisme dan penyelewengan wewenang serta penyalahgunaan yang terkait dengan penyuapan, pemerasan dan penipuan yang melibatkan aktor baik dari kalangan birokrat maupun swasta.
Menurut Klitgaard (1988), ada tiga dimensi dari institusi pemerintah yang sangat rentan terhadap terciptanya korupsi yakni kekuasaan monopoli pejabat pemerintahan, tingkat diskresi yang diijinkan untuk dilakukan, dan lemahnya akuntabilitas dan transparansi di dalam suatu institusi.
Dilihat dari tipologinya, ada dua tipe tindak korupsi yang biasanya terjadi di birokrasi pemerintahan yakni korupsi yang kasat mata ( apparent ) dan korupsi yang tersembunyi ( hidden ). Korupsi tipe pertama yakni korupsi yang skalanya dan signifikansinya kecil misalnya pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah dengan alasan untuk mencari tambahan pendapatan. Korupsi jenis ini yang tiap hari tampak di depan mata dan dirasakan sudah menjadi penyakit masyarakat. Tindak korupsi jenis kedua yakni tindak korupsi yang dilakukan secara tak kasat mata ( hidden corruption ).
Dalam ranah korupsi yang tak nampak ini, skala dan signifikansi korupsinya sudah sistemik dan besar. Tindak korupsi yang sudah sistemik ini sudah jauh memasuki dan berpotensi merusak operasionalisasi negara dan memainkan peran penting akan penguasaan segelintir elit atas negara di mana proses formulasi kebijakan yang dibuat hanya untuk menguntungkan segelintir elit tertentu. Adanya tindak korupsi dalam konteks ini sering merupakan suatu ‘manifestasi dari kurangnya penghormatan terhadap aturan main yang mengatur hubungan interaksi mereka baik oleh si pelaku tindak korupsi dan institusi yang dikorupsi. Pelanggaran aturan main dan kaidah hukum yang mestinya dijunjung tinggi ini menggambarkan gagalnya tata kelola untuk dijalankan dengan baik dan sebagaimana mestinya (Kaufmann, Kraay, and Mastruzzi 2005). Lebih jauh, Tanzi (2000) mengungkapkan bahwa banyak perhatian diarahkan dewasa ini mengenai tata kelola ( governance ) dan korupsi khususnya karena keterkaitan diantara kedua hal tersebut. Governance itu sendiri kerap didefinisikan sebagai government . Sehingga good governance adalah good government . Tata kelola yang baik merupakan bagian yang esensial terhadap pengelolaan ekonomi dan keuangan yang meliputi stabilitas makroekonomi; komitmen kepada keadilan ekonomi dan sosial; dorongan untuk menciptakan lembaga-lembaga yang efisien melalui reformasi struktural seperti liberalisasi perdagangan dan deregulasi domestik.
Lebih lanjut Tanzi (2000) juga menyebutkan bahwa minimnya kehadiran tata kelola yang baik disebabkan oleh beberapa faktor seperti inkompetensi, pengabaian, institusi yang tak efisien, dan model perencanaan ekonomi yang salah arah ( misguided economic planning ). Tindak korupsi pun sering dikaitkan dengan perilaku memburu rente ( rent-seeking behvior ). Harus dipahami bahwa tindak korupsi tidaklah identik dengan lemahnya tata kelola ( poor governance ). Namun demikian lemahnya penerapan tata kelola yang baik cenderung menyuburkan korupsi dan korupsi merupakan unsur yang signifikan dari lemahnya tata kelola yang baik.
Ada suatu konsensus umum dalam pembangunan dimana tata kelola yang baik memiliki pengaruh yang penting pada pembangunan ekonomi dan sosial. Tata kelola yang baik merupakan unsur yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dimana peningkatan efisiensi dari penyebaran tenaga kerja, investasi yang lebih produktif dan implementasi kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial yang lebih cepat akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (United Nations, 2005).
Pemerintah yang berfungsi baik adalah pemerintah yang memiliki birokrasi berkualitas tinggi, sukses dalam menyediakan layanan publik yang esensial, dapat mengelola anggaran negara yang efektif, tepat sasaran dan betul-betul untuk kesejahteraan rakyat kebanyakan serta demokratis. Oleh karenanya, pemerintah sudah seyogyanya harus berpacu dengan waktu dan berupaya untuk memperbaiki kualitas tata kelolanya sehingga ancaman terwujudnya Indonesia sebagai negara yang gagal ( failed state ) tidak terjadi.

No comments: