Makassar,-
Ulah sejumlah oknum aparat yang bertugas disepanjang jalur perlintasan trans sulawesi dikeluhkan masyarakat.
Pasalnya,
dibeberapa daerah seperti Maros, Pangkep, Barru, Pare-Pare, Sidrap, Wajo, Luwu, Kota Palopo hingga Kabupaten Luwu Timur disinyalir berdayakan praktek pungutan liar alias Pungli.
Sejumlah
pengemudi yang ditemui
wartawan media
ini menyebutkan, setiap mereka melintas baik siang maupun malam, mereka harus menyerahkan sejumlah uang “Setoran” kepada oknum petugas, baik yang berseragam Polisi, Polisi Kehutanan, hingga yang berseragam Dinas Perhubungan.
Kepada wartawan, pengemudi tersebut mengaku terpaksa harus menyerahkan
sejumlah uang kepada para Oknum tersebut agar tidak dipersulit.
“Dari pada kami
dikejar dan dipersulit, mending kami singgah pak.”
Seloroh salah satu kondektur truk.
Tidak hanya itu, beberapa pengemudi yang sempat ngopi bareng didekat salah satu Pos Polisi
dijalur perlintasan trans Sulawesi, justru memberikan keterangan yang lebih mencengangkan.
Seorang pengemudi asal kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah bahkan mengaku
harus rela mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah jika
melintas di Jalur Poros Trans Sulawesi Selatan.
Dikatakannya, selain untuk oknum Polisi ditiap
Pos, mereka juga terpaksa harus menyiapkan “Setoran
wajib” tambahan kepada Oknum anggota dinas perhubungan yang mereka lewati.
“Terutama yang dijembatan timbang, itu wajib
pak.”ungkapnya.
Dalam penjelasannya, seorang pengemudi bahkan mengaku kerap kali dihadang oknum yang berseragam dan berkendara Polisi ditengah jalan,
dengan tujuan meminta sejumlah uang.
“Itu selain yang dipos pak.”sambung pengemudi lainnya.
Keterangan sejumlah
pengemudi tersebut mengusik para kuli tinta yang kebetulan berada dilokasi. Wartawan media ini pun mencoba melakukan
penelusuran bersama beberapa anggota LSM ketitik yang sebut “area sarang pungli”.
Saat Tim Media bersama Aktivist LSM melintas di
daerah jembatan timbang Larompong Kabupaten Luwu, ditemukan beberapa truk yang tidak melewati “Timbangan”, namun tetap menyerahkan
sejumlah uang. Bahkan ditempat tersebut ditemukan
beberapa pengemudi hanya memarkir kendaraannya
ditepi jalan depan jembatan timbang, dan menyuruh kondektur untuk
menemui petugas untuk menyerahkan sejumlah
uang.
Saat ditanya wartawan, dengan santai sopir dan petugas yang berada di Pos Jembatan Timbang
tersebut mengatakan “itu biasa”.
Kondisi serupa pun ditemukan dibeberap jembatan
timbang yang berada diJalur Trans Sulawesi, seperti Jembatan Timbang Karetan Kabupaten Luwu dan Jembatan Timbang Kera Kabupaten Wajo.
Kondisi terparah bahkan ditemukan di Jembatan
Timbang Data’e - Sidrap, Jembatan
Timbang Pare-Pare, dan Jembatan
Timbang Maccopa - Barru.
Ditiga Lokasi tersebut dengan terang-terangan para petugas hanya memberhentikan
kendaraan ditepi jalan, dan mengarahkan para pengemudi untuk menemui petugas yang ada diloket jembatan timbang, tanpa mengarahkan kendaraan untuk
melalui Jembatan timbang.
Saat ditemui wartawan diruang kerjanya, selasa, 20/8/2014, Lasuke, Kepala Timbangan Data’e mengaku
tidak mampu memaksa kendaraan untuk melewati jembatan timbangan.
Kepada Tim media bersama beberapa anggota LSM yang hadir, Lasuke berkilah takut untuk
memaksa pengemudi memasuki jembatan timbang.
Selain mengaku takut diamuk masyarakat, Lasuke juga menuding kondisi jembatan, pengadilan hingga polisi mempunyai andil sehingga dirinya tidak bisa menjalankan aturan secara tegas ditempat tugasnya.
Lasuke pun mengaku sering menemukan kendaraan yang membawa muatan melebihi kapasitasnya. Namun dirinya
lagi-lagi mengaku tidak bisa berbuat banyak karena polisi dan pengadilan tidak mendukung upaya penegakan hukum yang
dilakukannya, seperti memproses para pengemudi
yang melanggar aturan.
Alasan lain yang dikemukakan Lasuke untuk tidak membongkar kelebihan muatan pada kendaraan, yakni karena tidak adanya anggaran.
“ya semestinya
dibongkar. Tapi sekarang sudah tidak ada anggarannya pak.
Masa si korban yang disuruh kasi
turun barangnya pak.” Kilahnya lagi.
Lebih jauh Lasuke menjelaskan, perlakuannya
dilapangan (Pungutan tanpa menimbang, red),
juga telah diketahui oleh atasannya didinas
perhubungan propinsi Sulawesi selatan.
Ditanya tentang adanya pemberian uang dari pengemudi kepada anggotanya, “jurus pamungkas” pun keluar.
“ah itu kan pengertian ji pak”. Tutur Lasuke tersenyum simpul.
Ironisnya, meskipun diakui sebagai pemberian sukarela, namun perlakuan oknum petugas di lokasi justru terlihat memaksa. Hal ini mengingat adanya penghentian kendaraan yang dilakukan oleh oknum petugas di Jalan Poros depan
jembatan timbang.
Kondisi yang tak jauh berbeda pun ditemukan di Jembatan Timbang Pare-pare.
Perbedaanya, hanya pada dukungan personil yang berada
dilokasi. Selain terkesan banyak, di jembatan timbang Pare-pare ditemukan Oknum yang berpakaian layaknya anggota TNI. Sayangnya
ditempat ini wartawan belum berhasil menemui Kepala Timbang selaku penanggung jawab.
Seorang sumber berpakaian
dinas perhubungan yang ditemui dilokasi jembatan timbang mengatakan kepala timbang sedang tidak ada.
“Kepala timbang tidak ada ditempat pak”. Sambut oknum tersebut kepada wartawan.
Tak mau kalah, ulah nakal oknum anggota Polisi pun kian meramaikan praktek pungli dijalur perlintasan yang menghubungkan Propinsi Sulawesi Selatan dan beberapa propinsi tetangga.
Ironisnya, Pungli yang “dibungkus” pemberian sukarela oleh oknum anggota polisi diduga kuat telah diketahui atasannya
di tiap daerah.
Dari sekian banyak Pos Polisi di Jalur Trans
Sulawesi, yang paling meresahkan para pengendara yakni Pos Lalu lintas Tarumpakkae-Wajo,
Pos Lalulintas Pare-pare, dan Pos Lalu Lintas Barru.
Saat Tim media melintas di simpang Tarumpakkae kabupaten Wajo, ditemukan sejumlah
kendaraan Truk dan Pick Up tengah parkir berderet didepan Pos
Polisi.
Beberapa Pengemudi yang sempat ditemui dilokasi itu
mengaku berhenti untuk menyerahkan
uang kepada petugas Lalulintas yang ada dipos tersebut.
Dari keterangan para pengemudi ini pula diketahui jika
tiap pengemudi yang singgah dikenakan tarif bervariasi,
mulai dari Rp.10.000 – Rp.50.000.
Sejumlah masyarakat yang berada disekitar lokasi pun membenarkan adanya praktek pungutan liar di Pos Polisi yang didirikan beberapa tahun lalu ini.
Saat wartawan mencoba mendekati Pos Polisi
tersebut, ditemukan dua orang Oknum berseragam Polisi Lalulintas, serta satu lagi berpakaian Preman dengan Rompi Lalulintas yang nampak tengah asyik menerima “setoran”
dari pengemudi yang datang.
Menurut keterangan seorang pemilik warung, selain Oknum Polisi Lalulintas, di Pos itu juga terdapat masyarakat sipil, namun sudah mendapat “izin”, dan kadang ditugaskan menerima uang.
Kepada wartawan, oknum yang dikenal masyarakat sebagai tenaga Bantuan Polisi ”BanPol” ini bahkan
mengakui jika hasil pungutannya tiap malam sering diserahkan langsung kepada Kasat Lantas di Lokasi itu.
“Kalau mau dapat
(Kasat), datangki sekitar jam satu.” Ungkapnya polos kepada wartawan.
Menyikapi maraknya pungli disepanjang jalan trans Sulawesi, Andi
Samsu Alam, Koordinator Tim Investigasi Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) meminta Kapolda sulselbar mengambil langkah tegas atas temuan ini.
Kepada wartawan, aktivist penggiat korupsi yang kerap
disapa Andi Alam ini bahkan menantang Kapolda sulselbar untuk turun
langsung kelapangan membuktikan kebenaran
Praktek Pungli ini, agar tidak menampakkan kesan wartawan asal nuding.
Menurut Andi Alam, maraknya praktek pungutan liar dilapangan, khususnya dijalur trans Sulawesi, mengindikasikan lemahnya pengawasan dan penindakan dari
pimpinan polri di daerah ini, khususnya Kapolda Sulselbar.
“Jadi kalau
beliau benar-benar serius, sekarang buktikan dengan memberantas praktek pungutan liar
dilapangan”. Tantangnya.
Pernyataan serupa dilontarkan Fredi Suade yang juga ikut dalam rombongan. Menurutnya, selaku penanggungjawab dilingkup Polri Sulselbar, salah satu tugas penting dan sangat perlu perhatian serius yakni pembenahan dan perbaikan ditubuh anggota polri, khususnya perbaikan akhlak dan mental Oknum
anggota.
Ditegaskannya, jika pembenahan
mental anggota ini tidak mampu dilakukan,
jangan pernah berharap akan menemukan
praktek penegakan hukum yang baik pula.
“Inilah yang paling penting, namun juga paling sulit. Jika Kapolda tidak mampu melakukannya, sebagai penanggungjawab Institusi, serta ujung tombak Penegakan Hukum, lebih baik mundur” tegas Fredi.
Lebih jauh aktivist yang dikenal konsen melakukan pemantauan kinerja aparat dan pejabat negara
ini bahkan menilai Kapolda Sulselbar yang
saat ini dijabat Irjend
Pol. Burhanuddin Andi telah gagal dalam melakukan perbaikan ditubuh Polri, khususnya diwilayah
Sulselbar.
Dicontohkannya, sejak menjabat Kapolda,
beberapa kasus lama yang ditangani, baik di Polda maupun tingkat dipolres dan kemudian dilaporkan
ke Mapolda Sulselbar, tidak juga kunjung jelas akhirnya.
“Ini kan kegagalan kepemimpinan.” ungkapnya.
Dirinya bahkan menuding Telekomfrens yang hampir tiap minggu dilakukan Kapolda, hanya menjadi kegiatan seremonial, dan bahkan justru mengganggu pelayanan Masyarakat.
“Coba bayangkan, tiap telekomfrens semua pejabat wajib hadir. Trus kalau ada kegiatan pelayanan yang membutuhkan kehadiran atau tandatangan pejabat Polri, bagaimana.” Jelas Fredi kepada
wartawan. (Hermawan/Sl).
Foto : Tampak
pengemudi Pick Up saat menyerahkan uang kepada petugas di Pos Polisi
Tarumpakkae Kabupaten Wajo.
Foto : Tampak
pengemudi Truk saat menyerahkan uang kepada petugas di Pos Polisi Tarumpakkae
Kabupaten Wajo.
Foto : Tampak Truk
saat dihentikan petugas di Pos Polisi Sumpang Minangae, Kota Pare-pare.
Foto : Tampak
Truk yang tidak melalui timbangan saat melintas di jembatan timbang data’e
Kabupaten Sidrap.
Foto : Tampak
Kendaraan Truk bermuatan yang tidak memasuki timbangan, melainkan hanya parkir
didepan Jembatan Timbang Pare-Pare lalu menyerahkan uang kepada petugas
jembatan timbang.
Foto : Tampak
Kepala Jembatan Timbang Pare-Pare saat dikonfirmasi diruang kerjanya terkait ulah anggotanya yang menerima uang dari pengemudi truk yang melintas di wilayah jembatan timbang pare-pare.
No comments:
Post a Comment